Kisah TanNunggal serta Bujang Nadi Dare Nandung di Sambas Kalimantan Barat
Di Kerajaan Sambas lama, dikisahkan memerintah seorang raja bernama Tan Unggal. Sampai hari ini raja tersebut terkenal sebagai raja yang bengis. Dengan menyandang gelar Tan, raja itu sepertinya bukan berasal dari keturunan raja-raja sebelumnya. Melainkan orang kebanyakan yang diangkat derajatnya dengan disematkan tanda gelar. Konon, menurut cerita yang berkembang, Tan Unggal lahir dari pohon bambu.
Alkisah, seorang kerabat raja ingin pergi berburu ke hutan. Untuk mewujudkan keinginannya ia diiringi pengawal kerajaan. Di hutan, tiba-tiba ia dan rombongan mendengar suara bayi menangis. Ia perintahkan pengawalnya untuk mencari sumber suara. Kemudian terhadaplah mereka pada serumpun pohon bambu, di mana suara tangis bayi semakin jelas terdengar. Para pengawal kemudian sibuk memeriksa setiap pohon bambu. Hingga sampai pada satu pohon yang diyakini sebagai tempat suara tangis itu berasal. Pohon bambu itu dibelah secara hati-hati. Setelah dibelah, tampaklah sesosok bayi mungil.
Sepintas, bayi tersebut tampak biasa, sama saja dengan bayi lainnya. Kecuali satu gigi aneh yang tumbuh pada gusinya, yang membedakannya dengan bayi kebanyakan. Bayi itu segera dibawa ke istana kerajaan. Kegiatan berburu pun dibatalkan.
Sesampainya di istana, sang kerabat segera melaporkan apa yang dialaminya ke pada raja. Raja, yang memang tidak mempunyai keturunan, merasa tertarik dengan laporan tersebut. Dan ingin segera melihat sang bayi.
Bagai terkena sihir, raja langsung jatuh hati pada bayi itu sejak pertama kali melihatnya. Raja pun mengangkatnya sebagai anak. Dan memberinya gelar Tan Unggal. Nama “Unggal” diberikan sebagai perayaan terhadap gigi tunggal aneh yang tumbuh pada bayi itu. Lagipula, sebutan “Unggal” memang lazim digunakan masyarakat Melayu Sambas bagi anak satu-taunya, atau anak semata-wayang, alias anak tunggal.
Semakin hari Tan Unggal tumbuh semakin besar, hingga menjadi remaja yang dikarunia berbagai talenta. Raja semakin sayang padanya. Apa pun permintaan Tan Unggal akan segera dipenuhi.
Sementara Tan Unggal berkembang menjadi pemuda gagah nan wibawa, raja mulai tampak sakit-sakitan. Keadaan sakitnya semakin memperihatinkan dari hari ke hari. Sampai akhirnya raja tak mampu lagi menanggungkan penyakit yang dikandung bandannya. Apa boleh dikata, sang raja pun mangkat. Tan Unggal kini menggantikannya sebagai raja.
Harapan rakyat pada raja baru sepertinya tak pernah akan terpenuhi. Pasalnya, Tan Unggal kini menjelma raja yang kejam. Ya, kejam, di mana ia seakan selalu menutup mata pada setiap kepentingan rakyatnya. Apa pun keinginan Tan Unggal harus selalu dipenuhi. Ia pun tak segan-segan menghukum siapa saja yang berani menghambat atau gagal memenuhi keinginannya. Tan Unggal semakin mementingkan diri sendiri.
Namun Tan Unggal tak mau ambil peduli. Ia tak mengacuhkan apa pun anggapan orang. Sebagai raja, ia merasa berhak melakukan apa saja. Termasuk dalam menikah, ia tak mau mengikuti kebiasaan yang ada. Tan Unggal menikahi seorang gadis biasa anak rakyat jelata. Dari pernikahan itu Tan Unggal dikaruniai dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki dinamainya Nadi. Dan yang perempuan, Nandung.
Dalam lingkungan istana yang ketat, Nadi tumbuh jadi bujang yang rupawan. Sementara Nandung, seakan tak mau kalah dari abangnya, juga berkembang menjelma dara nan cantik jelita. Kerupawanan Bujang Nadi dan Dare Nandung segera saja menyebar ke seantero kerajaan.
Namun sayang, Tan Unggul sangat ketat dalam membatasi pergaulan keduanya. Bujang Nadi dan Dare Nandung tak diperkenankan keluar dari lingkungan istana. Sampai-sampai keduanya bahkan tak dapat bergaul dengan anak-anak seusianya. Kerap mereka berdua hanya dapat bermain sesamanya.
Sementara itu, kebegisan Tan Unggal semakin membuat gusar rakyatnya. Suatu kali, karena akan pergi berburu, Tan Unggal mempercepat jadwal makan siangnya. Mendengar itu, para juru masak istana pun jadi kalang-kabut. Terutama bagi Mak Long Inur. Karena ia yang bertugas membuat kerabu asam kesukaan raja. Kerabu asam adalah sambal yang diolah dengan buah asam.
Kerabu asam biasanya adalah yang paling terakhir disiapkan agar rasanya masih segar saat dihidangkan. Dan Mak Long Inur paham betul bahwa raja tidak akan mau makan tanpa kerabu asam. Oleh karena itu, ia harus memanfaatkan waktu singkat yang tersisa sebaik mungkin. Apa daya, saking tergesa-gesa, saat memasukkan bahan terakhir dan paling utama, yakni buah asam, salah satu jari Mak Long Inur ikut teriris pisau. Darah yang mengucur pun bercampur bersama sambal dan buah asam. Karena tak ada waktu lagi untuk membuat kerabu asam yang baru, Mak Long Inur langsung saja mengaduk kerabu asam yang telah tercampur darahnya itu dan dihidangkan kepada raja.
Setelah makan siang selesai, Mak Long Inur dipanggil untuk menghadap sang raja. Alangkah berdebarnya jantung Mak Long Inur karena takut mendapat murka. Anehnya, Tan Unggal malah memuji Mak Long Inur, karena kerabu asam buatannya siang itu terasa enak sekali. Sungguh berbeda dari biasanya. Raja pun meminta Mak Long Inur menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi.
Mak Long Inur, karena memang orang yang jujur, kemudian menjelaskan apa yang terjadi dengan sebenar-benarnya. Sembari menekan rasa takut, Mak Long Inur mengakui bahwa tangannya ikut terkena pisau saat mengiris buah asam. Dan darahnya bercampur dengan kerabu asam yang dibuatnya.
Tan Unggal mendapat inspirasi. Sejak saat itu ia perintahkan agar setiap kerabu asam yang disajikan padanya harus dicampur darah manusia. Kebengisannya pun semakin menyebar luas. Bahkan, karena kegemaran barunya itu, banyak dari pada rakyatnya yang menganggapnya bukan sekadar manusia biasa, melainkan setengah siluman.
Salah seorang pejabat istana tahu akan ketidaksukaan rakyat terhadap rajanya itu. Setiap saat ia berusaha mencari kelemahan raja. Hingga pada suatu ketika, ia mendengar pembicaraan kedua anak sang raja tentang pernikahan. Saat itu Bujang Nadi, ditemani ayam jago kesayangannya, bertanya kepada sang adik, laki-laki seperti apakah yang ingin ia nikahi nanti. Dare Nandung, yang tengah asik dengan alat tenun berlapis emas barunya, menjawab bahwa ia akan menikahi laki-laki yang setampan abangnya itu.
Sebaliknya, Dare Nandung pun bertanya, perempuan macam apa yang akan dinikahi abangnya. Bujang Nadi menjawab akan menikahi perempuan yang tak kalah cantiknya dengan adiknya itu.
Mendengar itu, sang pejabat istana segera melaporkannya kepada raja. Betapa terkejutnya Tan Unggal mendengar hal itu. Ia pun segera memerintahkan pengawal untuk segera membawa kedua anak itu ke hadapannya. Dan saking malunya, tanpa menghiraukan penjelasan apapun dari kedua anaknya, Tan Unggal langsung memvonis mereka dengan hukuman dikubur hidup-hidup. Tan Unggal tak mau menanggung aib atas perbuatan kedua anaknya itu.
Demikianlah, Bujang Nadi dan Dare Nandung akhirnya dikubur hidup-hidup, bersama hewan dan benda kesayangannya, pada sebuah sumur yang ada di atas bukit. Bujang Nadi ditemani ayam jago kesayangannya dan Dare Nandung bersama alat tenun berlapis emas kebanggaannya. Lokasinya berada di Desa Sebedang, Kbupaten Sambas. Tempat yang dipercaya masyarakat sebagai makam keduanya sekarang ini diberi nama Keramat Bujang Nadi Dare Nandung.
Sebagian masyarakat percaya bahwa keduanya sebenarnya masih hidup. Di sekitar makam sering terdengar suara aneh. Beberapa tetua mengatakan jika yang terdengar adalah kokok ayam, itu tandanya Bujang Nadi masih hidup. Dan jika suara yang keluar adalah suara orang menenun, itu artinya Dare nandung masih hidup. Bagaimana pun masyarakat banyak menaruh simpati kepada Bujang Nadi Dare Nandung karena dianggap sebagai korban fitnah dan kebengisan ayah kandung mereka sendiri.
Namun, mengingat pembatasan ketat terhadap pergaulan yang diberlakukan pada keduanya, tak menutup kemungkinan Bujang Nadi dan Dare Nandung, yang sama-sama rupawan itu, akhirnya saling mengagumi satu sama lain.
Catatan: Bujang Nadi Dare Nandung merupakan kisah legenda masyarakat Sambas dan sekitarnya, yang diceritakan secara turun-temurun. Pemberian nama pembuat kerabu asam, Mak Long Inur, adalah atas inisiatif saya sendiri. Kerabu asam sendiri sampai saat ini masih merupakan masakan favorit masyarakat Melayu Sambas. Hanya saja, karena agak susah mencari buah asam, belakangan digunakan mangga sebagai penggantinya.
Alkisah, seorang kerabat raja ingin pergi berburu ke hutan. Untuk mewujudkan keinginannya ia diiringi pengawal kerajaan. Di hutan, tiba-tiba ia dan rombongan mendengar suara bayi menangis. Ia perintahkan pengawalnya untuk mencari sumber suara. Kemudian terhadaplah mereka pada serumpun pohon bambu, di mana suara tangis bayi semakin jelas terdengar. Para pengawal kemudian sibuk memeriksa setiap pohon bambu. Hingga sampai pada satu pohon yang diyakini sebagai tempat suara tangis itu berasal. Pohon bambu itu dibelah secara hati-hati. Setelah dibelah, tampaklah sesosok bayi mungil.
Sepintas, bayi tersebut tampak biasa, sama saja dengan bayi lainnya. Kecuali satu gigi aneh yang tumbuh pada gusinya, yang membedakannya dengan bayi kebanyakan. Bayi itu segera dibawa ke istana kerajaan. Kegiatan berburu pun dibatalkan.
Sesampainya di istana, sang kerabat segera melaporkan apa yang dialaminya ke pada raja. Raja, yang memang tidak mempunyai keturunan, merasa tertarik dengan laporan tersebut. Dan ingin segera melihat sang bayi.
Bagai terkena sihir, raja langsung jatuh hati pada bayi itu sejak pertama kali melihatnya. Raja pun mengangkatnya sebagai anak. Dan memberinya gelar Tan Unggal. Nama “Unggal” diberikan sebagai perayaan terhadap gigi tunggal aneh yang tumbuh pada bayi itu. Lagipula, sebutan “Unggal” memang lazim digunakan masyarakat Melayu Sambas bagi anak satu-taunya, atau anak semata-wayang, alias anak tunggal.
Semakin hari Tan Unggal tumbuh semakin besar, hingga menjadi remaja yang dikarunia berbagai talenta. Raja semakin sayang padanya. Apa pun permintaan Tan Unggal akan segera dipenuhi.
Sementara Tan Unggal berkembang menjadi pemuda gagah nan wibawa, raja mulai tampak sakit-sakitan. Keadaan sakitnya semakin memperihatinkan dari hari ke hari. Sampai akhirnya raja tak mampu lagi menanggungkan penyakit yang dikandung bandannya. Apa boleh dikata, sang raja pun mangkat. Tan Unggal kini menggantikannya sebagai raja.
Harapan rakyat pada raja baru sepertinya tak pernah akan terpenuhi. Pasalnya, Tan Unggal kini menjelma raja yang kejam. Ya, kejam, di mana ia seakan selalu menutup mata pada setiap kepentingan rakyatnya. Apa pun keinginan Tan Unggal harus selalu dipenuhi. Ia pun tak segan-segan menghukum siapa saja yang berani menghambat atau gagal memenuhi keinginannya. Tan Unggal semakin mementingkan diri sendiri.
Namun Tan Unggal tak mau ambil peduli. Ia tak mengacuhkan apa pun anggapan orang. Sebagai raja, ia merasa berhak melakukan apa saja. Termasuk dalam menikah, ia tak mau mengikuti kebiasaan yang ada. Tan Unggal menikahi seorang gadis biasa anak rakyat jelata. Dari pernikahan itu Tan Unggal dikaruniai dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki dinamainya Nadi. Dan yang perempuan, Nandung.
Dalam lingkungan istana yang ketat, Nadi tumbuh jadi bujang yang rupawan. Sementara Nandung, seakan tak mau kalah dari abangnya, juga berkembang menjelma dara nan cantik jelita. Kerupawanan Bujang Nadi dan Dare Nandung segera saja menyebar ke seantero kerajaan.
Namun sayang, Tan Unggul sangat ketat dalam membatasi pergaulan keduanya. Bujang Nadi dan Dare Nandung tak diperkenankan keluar dari lingkungan istana. Sampai-sampai keduanya bahkan tak dapat bergaul dengan anak-anak seusianya. Kerap mereka berdua hanya dapat bermain sesamanya.
Sementara itu, kebegisan Tan Unggal semakin membuat gusar rakyatnya. Suatu kali, karena akan pergi berburu, Tan Unggal mempercepat jadwal makan siangnya. Mendengar itu, para juru masak istana pun jadi kalang-kabut. Terutama bagi Mak Long Inur. Karena ia yang bertugas membuat kerabu asam kesukaan raja. Kerabu asam adalah sambal yang diolah dengan buah asam.
Kerabu asam biasanya adalah yang paling terakhir disiapkan agar rasanya masih segar saat dihidangkan. Dan Mak Long Inur paham betul bahwa raja tidak akan mau makan tanpa kerabu asam. Oleh karena itu, ia harus memanfaatkan waktu singkat yang tersisa sebaik mungkin. Apa daya, saking tergesa-gesa, saat memasukkan bahan terakhir dan paling utama, yakni buah asam, salah satu jari Mak Long Inur ikut teriris pisau. Darah yang mengucur pun bercampur bersama sambal dan buah asam. Karena tak ada waktu lagi untuk membuat kerabu asam yang baru, Mak Long Inur langsung saja mengaduk kerabu asam yang telah tercampur darahnya itu dan dihidangkan kepada raja.
Setelah makan siang selesai, Mak Long Inur dipanggil untuk menghadap sang raja. Alangkah berdebarnya jantung Mak Long Inur karena takut mendapat murka. Anehnya, Tan Unggal malah memuji Mak Long Inur, karena kerabu asam buatannya siang itu terasa enak sekali. Sungguh berbeda dari biasanya. Raja pun meminta Mak Long Inur menjelaskan kenapa hal itu bisa terjadi.
Mak Long Inur, karena memang orang yang jujur, kemudian menjelaskan apa yang terjadi dengan sebenar-benarnya. Sembari menekan rasa takut, Mak Long Inur mengakui bahwa tangannya ikut terkena pisau saat mengiris buah asam. Dan darahnya bercampur dengan kerabu asam yang dibuatnya.
Tan Unggal mendapat inspirasi. Sejak saat itu ia perintahkan agar setiap kerabu asam yang disajikan padanya harus dicampur darah manusia. Kebengisannya pun semakin menyebar luas. Bahkan, karena kegemaran barunya itu, banyak dari pada rakyatnya yang menganggapnya bukan sekadar manusia biasa, melainkan setengah siluman.
Salah seorang pejabat istana tahu akan ketidaksukaan rakyat terhadap rajanya itu. Setiap saat ia berusaha mencari kelemahan raja. Hingga pada suatu ketika, ia mendengar pembicaraan kedua anak sang raja tentang pernikahan. Saat itu Bujang Nadi, ditemani ayam jago kesayangannya, bertanya kepada sang adik, laki-laki seperti apakah yang ingin ia nikahi nanti. Dare Nandung, yang tengah asik dengan alat tenun berlapis emas barunya, menjawab bahwa ia akan menikahi laki-laki yang setampan abangnya itu.
Sebaliknya, Dare Nandung pun bertanya, perempuan macam apa yang akan dinikahi abangnya. Bujang Nadi menjawab akan menikahi perempuan yang tak kalah cantiknya dengan adiknya itu.
Mendengar itu, sang pejabat istana segera melaporkannya kepada raja. Betapa terkejutnya Tan Unggal mendengar hal itu. Ia pun segera memerintahkan pengawal untuk segera membawa kedua anak itu ke hadapannya. Dan saking malunya, tanpa menghiraukan penjelasan apapun dari kedua anaknya, Tan Unggal langsung memvonis mereka dengan hukuman dikubur hidup-hidup. Tan Unggal tak mau menanggung aib atas perbuatan kedua anaknya itu.
Demikianlah, Bujang Nadi dan Dare Nandung akhirnya dikubur hidup-hidup, bersama hewan dan benda kesayangannya, pada sebuah sumur yang ada di atas bukit. Bujang Nadi ditemani ayam jago kesayangannya dan Dare Nandung bersama alat tenun berlapis emas kebanggaannya. Lokasinya berada di Desa Sebedang, Kbupaten Sambas. Tempat yang dipercaya masyarakat sebagai makam keduanya sekarang ini diberi nama Keramat Bujang Nadi Dare Nandung.
Sebagian masyarakat percaya bahwa keduanya sebenarnya masih hidup. Di sekitar makam sering terdengar suara aneh. Beberapa tetua mengatakan jika yang terdengar adalah kokok ayam, itu tandanya Bujang Nadi masih hidup. Dan jika suara yang keluar adalah suara orang menenun, itu artinya Dare nandung masih hidup. Bagaimana pun masyarakat banyak menaruh simpati kepada Bujang Nadi Dare Nandung karena dianggap sebagai korban fitnah dan kebengisan ayah kandung mereka sendiri.
Namun, mengingat pembatasan ketat terhadap pergaulan yang diberlakukan pada keduanya, tak menutup kemungkinan Bujang Nadi dan Dare Nandung, yang sama-sama rupawan itu, akhirnya saling mengagumi satu sama lain.
* * *
Posting Komentar untuk "Kisah TanNunggal serta Bujang Nadi Dare Nandung di Sambas Kalimantan Barat"